Sabtu, 19 November 2011

askep asma bronkhiale


ASMA BRONKHIALE
I . LAPORAN PENDAHULUAN
A.    Pengertian
Asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asthma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).
Asthma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Asthma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon.
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).
B.     Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
o Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
o Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
o Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
o Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
o Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
o Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C.     Klasifikasi Asthma
Berdasarkan penyebabnya, asthma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
D.    Patofisiologi
Asthma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asthma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asthma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
E.     Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1. Tingkat I :
o Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
o Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2. Tingkat II :
o Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
o Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III :
o Tanpa keluhan.
o Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
o Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV :
o Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
o Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V :
o Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
o Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.
F.      Pemeriksaan penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium.
o Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
 - Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan)
dari cabang
bronkus.
 - Creole yang merupakan fragmen dari epitel
bronkus.
-  Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
o Pemeriksaan darah.
-  Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
 - Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
-  Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2.       Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
o Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
o Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
o Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
o Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
o Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3.      Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
4.      Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
o Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
o Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
o Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
5.      Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
6.      Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
G.     Penatalaksanaan
pada pemeriksaan awal, bidan harus dapat mendiskusikan dengan ibu tentang frekuensi dan keparahan asmanya, riwayat keluarga, pemicu asma yang diketahuinya, dan pengobatan saat ini. Saemua obat yang dapat digunakan dalam menangani asma, termasuk steroid sistemik, di anggap aman dan penting bagi ibu untuk tetap melakukan terapi selama kehamilan guna mencegah memburuknya kondisi ibu dan kelainan kehamilan. Prinsip penatalaksanaan asma pada ibu hamil tidak berbeda dengan pelaksanaan asma pada wanita yang tidak hamil, tetapi pada ibu hamil tentu sasaja penatalaksanaan tersebut ditambah dengan pemantauan janin. Penatalaksanaan yang tepat adalah dengan menggunakan peak expiratory flow rates ( PEFR ) untuk memantau tingkat resistensi pada jalan nafas yang di sebabkan oleh inflamasi dan bronkospasme. 
Peningkatan kortison dan adrenalin (epinefrin) dari kelenjar adrenal selama persalinan (De Swiet 1995).
Jika serangan asma terjadi, harus ditangani dengan pengobatan dan kecepatan yang sama dengan serangan di luar kehamilan. Ibu yang pernah menerima kortikosteroid selama kehamilan harus di tingkatkan dosisnya guna mengatasi stres persalinan, dan biasanya diberikan hidrokortison 100 mg secara intramuskular setiap 6 jam dan selama 24 jam setalah kelahiran. (Landon & Samuels 1996).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA BRONKHIALE
A.    Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang lalu:
§  Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
§  Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
§  Kaji sirkulasi tekanan darah
§  Kaji integritas ego
§  Kaji pola eliminasi
§  Kaji pola nutrisi
§  Kaji pola pernafasan
§  Kaji seksualitas klien
§  Kaji interaksi sosial
2.      Aktivitas
o Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
o Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
o Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3. Pernapasan
o Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
o Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
o Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
o Adanya bunyi napas mengi.
o Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
o Adanya peningkatan tekanan darah.
o Adanya peningkatan frekuensi jantung.
o Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
o Kemerahan atau berkeringat.
5. Integritas ego
o Ansietas
o Ketakutan
o Peka rangsangan
o Gelisah
6. Asupan nutrisi
o Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
o Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosal
o Keterbatasan mobilitas fisik.
o Susah bicara atau bicara terbata-bata.
o Adanya ketergantungan pada orang lain.
8. Seksualitas
o Penurunan libido.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1.      Pertukaran gas, kerusakan resiko tinggi terhadap maternal
2.      Intoleran aktivitas resiko tinggi
3.     

C. Intervensi
1.      Diagnosa Keperawatan 1 :
Pertukaran gas, kerusakan resiko tinggi terhadap maternal.
1)      Mandiri :
Intervensi
Kaji adanya kelainan pernapasan yang dapat mempengaruhi fungsi paru, seperti asma atau Tubercolosis. Perhatikan frekuensi pernafasan atau upaya ibu dan munculnya bunyi napas.
Rasional :
Kondisi ini baik yang ada sebelum atau selama kehamilan, yang menurunkan atau mempengaruhi kapasitas pertukaran oksigen, mengganggu pertukaran gas normal. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh masalah yang berhubungan dengan pernafasan, sirkulasai, atau komponen selular.
Intervensi
Perhatikan kondisi yang menimbulkan perubahan vaskular atau penurunan sirkulasi placenta atau yang mengubah kapasitas pembawa oksigen.
Rasional :
Luasnya masalah vaskular maternal dan penurunan kapasitas pembawa oksigen berpengaruh langsung pada sirkulasi dan pertukaran gas pada placenta. Pada bayi BBLR dihubungkan dengan pertukaran vaskular maternal.
Intervensi :
Pantau TTV
Rasional :
Penurunan TD dan peningkatan nadi dapat menyertai hemoragi
Intervensi :
Tingkatkan istirahat ditempat tidur atau kursi pada posisi tegak atau semifowler. Bila upaya pernafasan menurun, anjurkan klien untuk melakukan mika-miki.
Rasional :
Menurunkan upaya pernafasan dan meningkatkan komsumsi oksigen sesuai penurunan diagfragma, diameter dada vertikal. Posisi miring kiri meningkatkan ferfusi ginjal atau placenta merupakan posisi efektif untuk mencegah sindrom hipotensi telentang.
Intervensi :
Pantau fungsi ginjal maternal, perhatikan keseluruhan infut dan output dan ukur berat jenis sesuai indikasi.
Rasional :
Funsi ginjal dapat memburuk selama kehamilan mempengaruhi fungsi kardiovaskular secara negatif, meningkatkan TD, dan menurunkan sirkulasi placenta.
Intervensi :
 Anjurkan peningkatan infut cairan dengan cepat sesuai toleransi
Rasional :
Mencegah dehidrasi, meningkatkan perfusi atau fungsi organ dan mengencerkan sekresi pernafasan untuk memudahkan ekpektorasi.
2)      Kolaborasi
Intevensi :
Pantau pemeriksaan laboratorium ibu sesuai indikasi ( HB/HT dengan menggunakan elektrofosis, nitrogen urea darah/BUN, klirens kreatinin, protein 24 jam, dan kdar asam urat,gas darah arteri/GDA )
Rasional :
Adanya reduksi pada kadar Hb atau volume sirkulasi darah mengurangi persedian untuk jaringan ibu. Tindakan tergantung pada penyebab anemia sesuai diagnosis oleh elektroforesis. Mengevaluasi keadekuatan fungsi ginjal. Menentukan kebutuhan oksigenasi dan therapy.
Intervensi :
Berikan obat-obatan sesuai indikasi diantaranya :
v  Teofilin
Rasional : membantu dilatasi bronkial tetapi dapat dihubungkan dengan efek samping takikardia pada klien atau janin.
v  Besidekstran (imperon)
Rasional : pemberian parenteral mungkin perlu karena adanya anemia defisiensi zat besi berat untuk meningkatkan kafasitas oksigen ibu.
v  Isoniazid atau Etambutol
Rasional : tubercolosis aktif memerlukan tindakan isoniazid, melewati placenta tetapi tidak sampai mempunyai efek teratogenik.
            Intervensi :
            Berikan oksigen suplemental
            Rasional : dapat diindikasikan pada adanya anemia berat atau selama krisis sel sabit.
2.      Diagnosa keperawat 2.
Intoleran aktivitas resiko tinggi terhadap adanya masalah sirkulasi atau pernapasan
1)      Mandiri
Intervensi :
Anjurkan klien mengikuti aktivitas dengan istrahat yang cukup
Rasional :
Menghemat energi dan menghindari pengerahan tenaga terus-menerus untuk meminimalkan kelelahan atau kepekaan uterus.
Intervensi :
Anjurkan istrahat yang adekuat dan penggunaan posisi mika-miki
Rasional :
Meningkatkan darah ke uterus dan dapat menurunkan kepekaan atau aktivitas uterus.
Intervensi ;
Anjurkan menghindari perjalan dan perubahan ketinggian pada trimester ke tiga.
Rasional :
Gerakan perjalanan, posisi duduk yang lama, dan penurunan oksigen tampak menurunkan kepekaan uterus.
2)      Kolaborasi
Intervensi :
Anjurkan tirah baring yang dimodifikasi atau komplit sesuai indikasi.
Rasional :
Tingkat aktivitas mungkin perlu modifikasi tergantung pada gejala-gejala aktivitas uterus, perubahan servik atau perdarahan.






DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. (1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger.
Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar